Ketika Cahaya Kemuliaan Turun dalam Kesederhanaan

Selasa, 23 Desember 2025
Ketika Cahaya Kemuliaan Turun dalam Kesederhanaan
Bacaan Alkitab : Lukas 2:4-7 



        Malam itu, perjalanan panjang dari Nazaret menuju Betlehem terasa berat bagi Yusuf dan Maria. Dalam hiruk pikuk sensus yang memaksa semua orang kembali ke kota asal. Keputusan Kaisar yang terlihat seperti urusan politik semata—rupanya menjadi alat untuk menggenapi nubuat berabad-abad sebelumnya: Mesias harus lahir di Betlehem. Yusuf berjalan sambil menuntun keledai, sadar bahwa ia adalah keturunan Daud. Namun, ia mungkin tak menyadari bahwa setiap langkah menuju kota kecil itu adalah langkah menuju penggenapan rencana Allah yang agung. Maria yang sedang mengandung mengikuti Yusuf ke Betlehem, bukan hanya karena aturan pemerintah, tetapi karena Allah menggerakkan segala hal termasuk aturan manusia untuk melahirkan Sang Juruselamat dalam waktu dan tempat yang tepat.

        Betlehem malam itu penuh sesak. Rumah-rumah keluarga ramai, penginapan penuh, dan tak seorang pun menyediakan ruang bagi pasangan sederhana ini. “Tidak ada tempat bagi mereka.” Kalimat yang singkat, tetapi penuh makna—dunia, sejak awal, tidak menyediakan ruang bagi Kristus. Penolakan pertama itu menggemakan penolakan yang lebih besar yang akan Ia hadapi sepanjang hidup-Nya. Dan di tengah kota kecil yang tak siap menyambut-Nya, Maria merasakan saat itu tiba. tanpa keluarga, tanpa kenyamanan. 

        Ia membungkus bayi itu dengan kain lampin—dengan tangannya sendiri. Lalu Ia membaringkan-Nya di palungan, tempat makan hewan. Tidak ada bantal lembut, tidak ada ranjang istana. Hanya palungan di kandang. Namun justru di situlah rahasia Kerajaan Allah dinyatakan. Sang Raja datang, tetapi bukan dengan kemegahan. Ia memilih tempat paling rendah untuk menunjukkan jalan Kerajaan,: yaitu kerendahan hati. Palungan menjadi tanda bukan kelemahan, tetapi undangan. Undangan bagi orang-orang sederhana, bagi mereka yang dianggap tidak penting, untuk datang dan melihat bahwa Mesias hadir di tengah-tengah mereka. Di tengah keterbatasan dan kesederhanaan itu, pemeliharaan Allah nyata. Meski dunia tidak memberinya tempat, Allah menyediakan cukup: sebuah selimut, kasih seorang ibu, lengan seorang ayah, dan sebuah palungan yang sederhana namun penuh makna. Betlehem—kota kecil yang tidak diperhitungkan—menjadi panggung bagi kelahiran Raja segala raja.

        Kehadiran Yesus dalam kondisi sederhana bukanlah kecelakaan sejarah. Itu adalah deklarasi teologis: Kerajaan Allah dimulai bukan dari singgasana, tetapi dari kerendahan. Allah bekerja melalui hal-hal kecil yang tidak dianggap penting. Dan Mesias datang untuk mereka yang dunia anggap biasa. Dalam palungan itu, kita melihat identitas-Nya: Raja Mesianik dari garis keturunan Daud, namun sekaligus Juruselamat yang merendahkan diri untuk menjangkau manusia yang paling kecil. 

        Saudara, apakah ada tempat bagi Kristus di hati kita?Atau kita juga “penuh” oleh hal-hal lain? Kiranya renungan ini menolong kita melihat bahwa Allah sering hadir dalam bentuk yang paling sederhana, di ruang yang kita sediakan dengan kerendahan hati—seperti Maria yang membuka tangannya, dan seperti palungan yang membuka ruangnya. (FS)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup sesuai Kehendak Allah

Menghormati Allah dalam Penderitaan

Pengalaman Rohani Bersama Allah