Keserupaan dengan Dunia Membuat Kekudusan Pudar
Keserupaan dengan Dunia Membuat Kekudusan Pudar
Bacaan Alkitab : Keluaran 30:32–33
Keluaran
30:32–33 adalah bagian dari instruksi Allah kepada Musa tentang minyak urapan
kudus—sebuah campuran khusus yang hanya boleh dipakai di Kemah Suci dan pada
para imam. Minyak ini bukan sekadar wewangian; ia adalah simbol pemisahan,
tanda bahwa sesuatu atau seseorang telah ditetapkan hanya bagi Allah. Karena
itu Tuhan memberikan dua larangan keras: (1) minyak itu tidak boleh ditiru, dan (2)
tidak boleh dipakai untuk penggunaan lain, selain untuk ritual pengurapan. Bahkan hukuman bagi yang
melanggarnya sangat drastis: “ia harus dilenyapkan dari bangsanya.” Larangan
ini menunjukkan satu prinsip penting: apa yang Allah tetapkan sebagai kudus harus diperlakukan
dengan penghormatan yang sesuai. Meniru minyak itu berarti mencampuradukkan
yang sakral dengan yang sekuler—menghapus batas yang Allah sendiri tetapkan.
Dan begitu batas itu kabur, kekudusan kehilangan bobotnya, kehilangan maknanya.
Ayat ini tidak hanya berbicara tentang minyak. Ia berbicara tentang hati,
tentang bagaimana sikap manusia terhadap kekudusan dapat tercermin dalam
tindakan sederhana seperti meniru apa yang kudus untuk kepentingan diri.
Bukankah
itulah godaan kita hari ini? Kita ingin terlihat rohani, namun dengan cara yang
diterima dunia. Kita ingin berintegritas, tetapi tetap relevan tanpa dibenci.
Kita ingin dekat dengan Tuhan, tetapi tidak ingin terlihat “berbeda” dari arus
zaman. Perlahan, hampir tanpa sadar, kita mulai menyalin pola-pola dunia: gaya
bicara, gaya hidup, prioritas, bahkan cara mengukur nilai diri. Roma 12:1–2
menegaskan hal ini dengan lantang: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia
ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu.” Keserupaan tidak datang
sekaligus. Ia datang dari kompromi kecil: ketika hal-hal rohani dipakai untuk
memanipulasi; ketika pelayanan dijadikan pencitraan; ketika batas antara yang
sakral dan yang sekuler dihapuskan atas nama “fleksibilitas”. Padahal kekudusan
membutuhkan pembedaan—apokreasi—kemampuan memisahkan mana yang untuk Tuhan dan
mana yang tidak.
Bukan
berarti sekuler itu najis. Tetapi yang kudus memiliki tempatnya sendiri,
batasnya sendiri, hormatnya sendiri. Dan hidup Kristen adalah hidup yang
menghormati batas-batas itu. Ada hal yang tidak kita sentuh. Ada kesempatan
yang tidak kita kejar. Ada kata-kata yang tidak kita ucapkan. Ada godaan yang
kita kendalikan. Pengendalian diri adalah salah satu bentuk penghormatan terhadap
kekudusan Allah di dalam hidup kita. Ketika batas kabur,
kekudusan memudar. Ketika kita mulai meniru dunia, identitas kita kehilangan
bobotnya. Dan seperti pemuda Lewi itu, kita akan mendapati bahwa usaha menyerupai
kekudusan tanpa ketaatan justru membuat kita menjauh dari sumber kekudusan itu
sendiri.
Saudara, Apa bentuk
kompromi kecil yang paling sering saya lakukan? Kiranya kita memilih menjadi orang yang tidak meniru dunia,
tidak memakai kekudusan untuk kepentingan diri, dan tidak menghapus garis yang
Allah letakkan. Sebab kekudusan bukan untuk dipamerkan—melainkan untuk ditaati,
dihormati, dan dijaga. (FS)

Komentar
Posting Komentar