Break dari Kesibukan, Balik ke Ketergantungan
Break dari Kesibukan, Balik ke Ketergantungan
Bacaan Alkitab : Keluaran 31:12-14
Dalam Keluaran 31:12–14, Tuhan kembali menegaskan bahwa hari
Sabat adalah tanda perjanjian antara Dia dan umat-Nya. Sabat bukan sekadar hari
libur atau waktu berhenti bekerja; Sabat adalah pengingat identitas—bahwa
manusia bukan makhluk otonom. Kita tidak diciptakan untuk hidup sendiri,
mengandalkan kekuatan sendiri, atau bertahan dari kemampuan kita sendiri. Sabat
memaksa kita untuk berhenti, dan dalam berhenti itu kita melihat kelemahan kita
sebagai manusia.
Setiap kali Israel berhenti bekerja, mereka sedang mengakui
suatu kebenaran besar yaitu kebutahan mereka akan Allah. Allah bisa hidup tanpa
manusia, tetapi manusia tidak bisa hidup tanpa Allah. Ketika kita berhenti dari
segala aktivitas kita, dunia tidak runtuh. Pekerjaan tetap berjalan. Alam tetap
berlangsung. Ini adalah deklarasi bahwa Tuhanlah Penguasa kehidupan—bukan kita.
Sabat mengingatkan bahwa kita tidak memegang kendali atas hidup; Dia-lah yang
menopang segalanya.
Seperti tubuh kita yang membutuhkan makanan, air, dan
istirahat, demikian juga jiwa kita membutuhkan Allah. Tanpa roti, tubuh kita
lemah; tanpa Allah, jiwa kita kosong, kering, dan rapuh. Sabat hadir untuk
menolong kita menyadari bahwa kebutuhan terdalam manusia bukanlah
produktivitas, keberhasilan, atau prestasi—melainkan kehadiran Allah itu sendiri.
Ketika kita belajar berhenti, kita belajar bergantung. Ketika kita berhenti
mengendalikan, kita belajar berserah.
Sabat adalah kebiasaan rohani yang menolong kita menyadari
bahwa kita tidak mandiri. Kita sering hidup seakan semuanya bergantung pada
usaha kita sendiri, seolah dunia ini berjalan karena kerja keras kita. Namun
melalui Sabat, Tuhan mengingatkan kita dengan jelas: kita bukan Allah, kita
tidak dirancang untuk hidup sendiri, dan kita selalu membutuhkan Dia dalam
setiap aspek hidup kita. Sabat bertujuan untuk Melembutkan hati, menenangkan
jiwa, mengembalikan perspektif. Sabat bukan hanya bertujuan untuk memulihkan
tubuh, tetapi terutama memulihkan kesadaran bahwa kita adalah ciptaan yang
bergantung pada Sang Pencipta.
Saudara,
apakah kita menyediakan waktu untuk ‘berhenti’ di hadapan Tuhan, atau kita
terus mendorong diri tanpa batas sampai akhirnya kita lupa bahwa hidup kita
bergantung pada Dia, bukan pada kemampuan kita sendiri? Kiranya firman Tuhan
ini menolong kita mengakui dengan rendah hati: Aku tidak bisa hidup tanpa
Engkau. Semua nafasku bergantung pada-Mu. Dan hidupku hanya menemukan artinya
ketika aku bersandar pada-Mu. Amin. (RT)

Komentar
Posting Komentar