Roti Tak Beragi: Hidup Tanpa Sisa Dosa Lama
Roti Tak Beragi: Hidup Tanpa Sisa Dosa Lama
Saudara yang terkasih kalau kita melihat ke belakang, malam
ketika bangsa Israel keluar dari Mesir. Mereka berkemas dengan tergesa-gesa,
memegang tongkat di tangan dan roti tak beragi di pangkuan. Tidak ada waktu
untuk menunggu adonan mengembang. Firaun akhirnya menyerah, pintu rumah yang bubuhi darah anak domba,
telah melepaskan bangsa Israel dari hukuman Allah. Sedangkan, bangsa Mesir yang
dihukum Allah dan akhirnya terpaksa membiarkan bangsa Israel yang selama
ratusan tahun menjadi budak akhirnya keluar.
Roti itu sederhana, tanpa ragi, namun penuh makna. Itu bukan
sekadar makanan darurat, itu adalah simbol pemutusan masa lalu: tidak boleh ada sisa Mesir yang mengikuti
mereka ke Tanah Perjanjian. Tuhan tidak hanya membawa mereka keluar
secara fisik, tetapi juga memanggil mereka meninggalkan ragi mentalitas
perbudakan, ragi kompromi, ragi pemberontakan, ragi ketergantungan pada dunia.
Beberapa waktu kemudian, dalam Keluaran 29:1–3, ketika Harun
dan anak-anaknya dipersiapkan menjadi imam, Tuhan kembali memerintahkan
penggunaan roti tak beragi. Kali ini bukan karena tergesa, tetapi karena kekudusan. Roti tak beragi itu
menjadi tanda bahwa mereka tidak boleh membawa “ragi Mesir” masuk ke hadirat
Allah, yaitu ragi dosa, ragi ambisi diri, ragi budaya lama yang menolak
kehendak Tuhan. Dua peristiwa ini bertemu dalam satu pesan rohani yang sama: Tidak mungkin kita melayani Tuhan dengan sisa
ragi dari kehidupan lama. Ragi Mesir berbicara tentang pola pikir lama
yang duniawi, dosa yang dibiarkan kecil namun akhirnya menguasai, kelekatan
pada kenyamanan masa lalu, hati yang masih lebih percaya sistem dunia daripada
janji Allah.
Tuhan menyelamatkan Israel terlebih dahulu, barulah Ia
menetapkan mereka sebagai umat yang melayani-Nya. Begitu pun kita, kita tidak
dipanggil masuk pelayanan untuk “melunasi” keselamatan kita. Kita dipanggil karena sudah dianugrahi keselamatan.
Namun setelah itu, Tuhan memanggil kita bersih tanpa ragi lama. Roti tak beragi dalam pentahbisan imam
mengingatkan bahwa pelayanan bukan pertama-tama soal aktivitas, tetapi
identitas yang diubahkan. Tuhan tidak mencari tangan yang sibuk tetapi hati
yang disucikan. Bukan pelayanan yang ramai, tetapi hidup yang murni. Bukan
suara yang keras, tetapi karakter yang tunduk.
Saudara, apa
“ragi lama” yang masih sering kita bawa dalam perjalanan iman dan pelayanan
kita, apakah itu kebiasaan, pola pikir, atau motivasi yang tidak berkenan di
hadapan Tuhan? Biarlah melalui firman Tuhan hari ini kita diajarkan bahawa, Sebelum kita bergerak bagi Tuhan, kita harus
bersih di hadapan-Nya. (RT)

Komentar
Posting Komentar