Diundang Dalam Persekutuan Allah
Diundang Dalam Persekutuan Allah
Musa, Harun, Nadab, Abihu, dan tujuh
puluh tua-tua Israel menaiki gunung untuk menghadap Allah. Di hadapan mereka
terbentang pemandangan yang tak terlukiskan—di bawah kaki Allah tampak sesuatu
seperti lantai dari batu lazur, biru jernih, berkilau bagai langit yang tanpa
awan. Tidak ada manusia yang bisa menggambarkannya dengan sempurna, sebab itu
adalah kemuliaan Allah sendiri.
Namun, yang lebih menakjubkan bukan hanya apa
yang mereka lihat melainkan apa yang mereka alami. Firman Tuhan mencatat,
“Mereka memandang Allah, lalu makan dan minum.” Betapa aneh terdengar kalimat
itu. Bagaimana mungkin manusia yang berdosa bisa makan dan minum di hadapan
Allah yang kudus, tanpa binasa?
Biasanya, mendekati Allah tanpa syarat
yang benar berakhir dengan maut. Namun di sini, Allah tidak menghanguskan
mereka, melainkan mengundang mereka untuk duduk, bersekutu, bahkan makan-minum
dalam hadirat-Nya. Momen itu menjadi lambang dari perjanjian: Allah bukan hanya
Tuhan yang jauh dan ditakuti, tetapi Allah yang dekat, yang ingin berbagi meja
dengan umat-Nya.
Perjamuan di gunung itu juga menjadi
bayangan dari apa yang kelak digenapi dalam Kristus. Melalui Yesus, kita juga
diundang untuk duduk di meja perjamuan Allah. Ketika kita merayakan Perjamuan
Kudus, kita mengingat bahwa darah Kristus telah membuka jalan bagi kita untuk
bersekutu dengan Allah tanpa takut. Lebih jauh lagi, kita diarahkan pada janji
perjamuan kekal di surga, ketika kita akan makan bersama Anak Domba Allah dalam
sukacita yang tidak berkesudahan (Wahyu 19:9).
Saudara yang
terkasih, Sudahkah hari engkau memiliki persekutuan yang
akrab dengan Tuhan? Renungan
ini meneguhkan satu hal penting: hubungan kita dengan Allah bukan hanya soal
ritual dan kewajiban, tetapi undangan untuk masuk dalam persekutuan yang intim.
Sama seperti duduk makan bersama sahabat adalah tanda keakraban, demikianlah
Allah mengundang kita untuk menikmati hadirat-Nya dengan sukacita.
Mungkin hari ini kita merasa Allah
terlalu jauh, doa kita terasa hampa, atau ibadah kita sekadar rutinitas. Namun
ingatlah, Allah sebenarnya sedang mengundang kita: bukan hanya untuk datang
dengan rasa takut, tetapi untuk menikmati hadirat-Nya, untuk makan dan minum
bersama-Nya, untuk mengalami kedekatan yang sejati. (FS)

Komentar
Posting Komentar