Dari Kelemahan ke Kemuliaan
Dari Kelemahan ke Kemuliaan
Saudara terkasih, ketika Allah
memerintahkan Musa untuk membangun Kemah Suci, setiap detailnya ditetapkan
dengan sangat teliti. Tidak ada satu pun yang dibiarkan tanpa ketentuan, bahkan
sampai pada ukuran, bahan, dan hiasan terkecil, termasuk meja. Hal ini
menunjukkan bahwa Kemah Suci adalah tempat Allah berdiam di tengah umat-Nya.
Salah satu perabot yang diperintahkan
Tuhan untuk dibuat adalah meja roti sajian. Meja ini bukan sekadar perabot
biasa, melainkan mengandung makna rohani yang mendalam. Meja ini dibuat dengan
kayu penaga yang di lapisi emas murni, ini melambangkan kehadiran Allah,
kemuliaan dan kekudusan-Nya. Mengapa dilapisi dengan emas? Agar ketika para
imam masuk mereka bisa merasakan kehadiran Allah. Karena emas itu melambangkan
kehadiran Allah.
Saudara, kayu penaga adalah kayu yang sederhana
dan cukup umum ditemukan di padang gurun. Ini berbicara tentang kemanusiaan kita yang
rapuh dan terbatas. Kita hanyalah manusia biasa dengan
segala kelemahan. Tetapi ketika kayu itu dilapisi emas, ia tidak lagi tampak
biasa. Emas melambangkan kemuliaan Allah dan kekudusan-Nya.
Dengan demikian, kayu penaga yang dilapisi emas adalah gambaran manusia yang
sederhana, tetapi ketika dipenuhi oleh Roh Kudus, hidupnya berubah dan
mencerminkan kemuliaan Allah.
Tanpa emas, kayu itu hanyalah kayu
biasa. Demikian juga, tanpa Roh Kudus, manusia hanyalah ciptaan yang terbatas.
Namun ketika Roh Kudus memenuhi hidup kita, kita ditutupi oleh kemuliaan Allah,
sehingga yang tampak bukan lagi kelemahan kita, melainkan karya dan kuasa Allah
dalam diri kita.
Saudara, sama seperti meja yang
dilapisi emas sehingga para imam dapat merasakan kehadiran Allah demikian juga
dengan kehidupan kita yang telah dipenuhi dengan Roh Kudus. Ketika orang
melihat kita seharusnya mereka dapat merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan
kita. Baik itu melalui kasih yang nyata, karakter kita, perkataan kita, dan
melalui pelayanan kita. Jadi orang dapat merasakan kehadiran Allah dalam
kehidupan kita bukan terutama lewat apa yang kita klaim, melainkan lewat buah
kehidupan yang nyata, sikap hati, dan kasih yang kita bagikan.
Saudara, dalam keseharian kita, apakah
orang lain bisa merasakan kehadiran Allah lewat kasih, perkataan, dan sikap
hidup kita? Jika belum, biaralah lewat firman Tuhan hari ini kita dibentuk
untuk menjadi pribadi yang lebih baik, sehingga orang dapat melihat kehadiran
Allah dalam kehidupan kita. Amin. (RT)

Komentar
Posting Komentar