Kembali kepada Pemilik Hidup Kita
Kembali kepada Pemilik Hidup Kita
Bacaan Alkitab : Keluaran 30:16
Ketika Tuhan memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir,
Ia tidak hanya mengatur langkah kaki mereka, tetapi juga membentuk hati mereka.
Setiap perintah yang Ia berikan bukanlah sekedar aturan, melainkan sarana
pendidikan rohani—bentuk kasih Allah yang menuntun hati umat-Nya agar tidak
tersesat oleh kecenderungan natur manusia. Di antara perintah-perintah itu, ada
satu instruksi yang terasa unik dan penuh makna mendalam: perintah tentang uang pendamaian dalam Keluaran 30:16.
Tuhan memerintahkan agar setiap orang Israel yang dihitung dalam sensus memberikan setengah syikal sebagai tebusan nyawa mereka. Dari sinilah muncul fakta penting: uang itu tidak dipakai untuk sembarang kepentingan, tetapi dipersembahkan kepada Kemah Suci, pusat kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Mengapa uang pendamaian itu harus dibawa ke Kemah Suci? Karena Kemah Suci adalah representasi Allah sendiri yang hadir di tengah-tengah umat-Nya. Bangsa Israel adalah milik Tuhan—“kawanan umat-Nya”—maka ketika ada pembayaran tebusan, pembayaran itu tidak mungkin diberikan kepada siapa pun selain kepada Sang Pemilik. Tetapi mengapa setiap orang harus membayar? Mengapa penebusannya bersifat kolektif, bukan pribadi? Di sinilah kita menemukan dimensi lain dari teks ini—dimensi dosa komunal.
Ketika Musa diperintahkan untuk menghitung bangsa
Israel, sensus itu bukan sekadar hitungan statistik. Dalam budaya Timur Dekat
kuno, menghitung rakyat sering diasosiasikan dengan penguasaan, kebanggaan,
dan ketergantungan pada kekuatan
manusia, bukan pada Allah. Ketika seluruh bangsa dihitung, seluruh
bangsa berada dalam bahaya terseret pada sikap hati yang sama: mengandalkan
jumlah, kekuatan, dan identitas diri—bukan Tuhan. Dengan kata lain, sensus itu membawa potensi dosa kolektif.
Dosa yang tidak dilakukan oleh satu orang saja, tetapi oleh seluruh komunitas
karena seluruh komunitas dihitung dan mewarisi risiko kesombongan atau
ketergantungan yang salah. Maka tebusan itu pun harus kolektif. Uang pendamaian
itu kemudian digunakan untuk pelayanan dalam Kemah Suci—tempat Allah memilih
tinggal di tengah umat-Nya. Dengan demikian, setiap kali umat memandang Kemah
Suci, mereka akan diingatkan bahwa keberadaan mereka sebagai bangsa bukan
karena jumlah mereka, bukan karena kekuatan mereka, tetapi karena anugerah Allah yang menebus dan memelihara
mereka.
Saudara yang terkasih, Jika kita membaca
Keluaran 30:11–16 dengan cara pandang manusia, perintah ini memang terasa aneh:
mengapa umat harus membayar kepada Allah, dan mengapa uang itu dipakai untuk
Kemah Suci? Semuanya tampak janggal jika
kita berpikir bahwa hidup kita adalah milik kita sendiri. Namun ketika kita
melihat bahwa hidup ini sesungguhnya milik Allah, semuanya menjadi masuk akal.
Persembahan itu bukan tuntutan, tetapi pengakuan. Bayaran itu bukan beban,
tetapi tanda syukur. Dan penggunaan uang itu untuk Kemah Suci menjadi
wajar—karena hidup yang ditebus seharusnya kembali dipakai bagi Dia yang
menebus.
Saudara, apakah selama ini kita hidup seolah-olah hidup
kita adalah milik kita sendiri?
Atau kita sungguh melihat diri kita sebagai milik Allah? Kiranya melalui Firman
Tuhan ini kita dibentuk menjadi pribadi yang sadar bahwa hidup kita sepenuhnya
miliki Allah. Amin. (RT)

Komentar
Posting Komentar