Janji yang Dijaga Allah di Kota yang Dilupakan
Janji yang Dijaga Allah di Kota yang Dilupakan
Ketika Mikha berbicara,
Kerajaan Yehuda sedang berada dalam masa goncangan besar. Kota Samaria yang
merupakan pusat kerajaan utara, baru saja jatuh ke tangan Kerajaan Asyur, dan
kehancuran itu mengguncang seluruh bangsa. Sementara itu Yerusalem, pusat
kerajaan selatan, memang belum runtuh, tetapi hidup di bawah bayang-bayang
ancaman yang sama. Kota itu melemah secara moral dan politik;
pemimpin-pemimpinnya tidak lagi memegang keadilan, dan rakyatnya mulai
meragukan apakah janji Allah kepada Daud masih relevan. Dunia mereka penuh
ketakutan, ketidakpastian, dan tanda-tanda bahwa masa “kejayaan lama” sudah
memudar. Di tengah situasi itulah Mikha menyampaikan
firman yang sangat berbeda dari keadaan sekitar. Bukan mengenai kota besar,
bukan mengenai pusat pemerintahan, bukan mengenai kekuatan militer. Justru
Allah menunjuk sebuah kota kecil yang hampir tak diingat orang yaitu Betlehem Efrata.
Betlehem bukan pusat ibadah seperti Yerusalem. Bukan pula
pusat politik seperti Samaria. Bahkan pada masa itu, sebagian besar orang
Yahudi tidak lagi memikirkan Betlehem sebagai bagian penting dari cerita
mereka. Kota itu kecil, tidak menonjol, dan tidak dianggap menentukan masa
depan bangsa. Namun Mikha berkata sebaliknya: “Dari padamu akan bangkit bagi-Ku
seorang yang akan memerintah Israel.” Firman ini mengingatkan bangsa itu pada
sesuatu yang mungkin sudah mereka lupakan: Allah tidak pernah menarik kembali janji-Nya kepada Daud (2 Samuel
7:12–13). Sekalipun manusia lupa, Tuhan tidak lupa. Sekalipun keadaan tampak
bertolak belakang dengan janji-Nya, Tuhan tetap bekerja.
Betlehem adalah kota sederhana dan itu bukan pusat pemerintahan, bukan pusat ibadah, dan tidak memiliki pengaruh politik. Namun di sanalah Allah memilih untuk memulai karya terbesar-Nya. Dengan cara itu, Tuhan menunjukkan bahwa Ia sering memakai yang kecil, yang tidak diperhitungkan, untuk melahirkan rencana yang jauh melampaui hikmat manusia. Nubuat Mikha juga menunjukkan bahwa kelahiran Mesias akan menjadi titik balik bagi sejarah umat Allah. Mikha menggambarkan masa itu sebagai masa “ditinggalkannya” Israel—masa gelap ketika bangsa itu merasa kehilangan arah, kehilangan pemimpin, dan seolah berada dalam hening panjang yang menakutkan. Namun pada saat harapan tampak pudar, Allah tidak berdiam diri. Justru melalui kelahiran Mesias, Ia memulai pemulihan-Nya. Di tengah kegelapan, Allah menyalakan terang baru—dan dari Betlehem yang kecil itulah pemulihan itu mulai terjadi. Sama seperti Betlehem, kadang hidup kita terasa kecil, tidak berarti, atau tidak diperhatikan. Ada masa ketika kita bertanya apakah janji Tuhan itu masih berlaku, atau apakah kita sudah terlalu jauh untuk melihat pemulihan. Namun Mikha 5:1–3 mengingatkan: Allah setia bahkan ketika manusia goyah. Janji-Nya tidak pernah putus bahkan ketika keadaan tampak berlawanan. Dan sering kali, di saat yang tidak kita duga, dari “Betlehem-Betlehem kecil” dalam hidup kitalah Tuhan mulai menyalakan kembali harapan.
Saudara, Apakah kita pernah
merasa berada dalam masa “hening” atau gelap seperti Israel? Bagaimana kita
melihat kehadiran Tuhan di masa-masa itu? Biarlah
kiranya melalui Kelahiran Mesias di kota kecil itu menjadi bukti bahwa Allah tidak pernah lupa. Bahkan
janji yang tampak redup tetap Dia jaga dengan sempurna. (FS)

Komentar
Posting Komentar