Dari Minyak ke Roh
Dari Minyak ke Roh
Ketika Tuhan memerintahkan Musa untuk membuat minyak urapan,
Ia tidak membiarkan proses itu berjalan sembarangan. Tuhan menyebutkan satu per
satu bahan yang harus dipakai, takaran yang tepat, hingga komposisi yang tidak
boleh diubah. Tidak sembarang minyak. Tidak sembarang aroma. Tidak sembarang
racikan. Minyak itu menjadi kudus bukan karena harum atau mahalnya bahan-bahan
itu, tetapi karena Tuhanlah yang menentukannya. Di sini kita melihat sebuah
pola yang kuat: kekudusan tidak pernah lahir dari kreativitas manusia,
melainkan dari inisiatif Allah sendiri.
Dalam perjalanan sejarah Israel, minyak urapan selalu
berkaitan dengan pemilihan dan pengudusan. Ketika mezbah, kandil, dan peralatan
Kemah Suci diurapi, semuanya menjadi “kudus”—bukan karena bentuk atau bahannya
istimewa, tetapi karena Allah memilih untuk menandai mereka sebagai milik-Nya.
Demikian pula ketika imam atau raja diurapi, mereka tidak sekadar menjalani
upacara, tetapi memasuki sebuah panggilan ilahi. Bahkan Perjanjian Lama sendiri
menunjukkan bahwa pada saat seseorang diurapi dengan minyak, Roh Tuhan bekerja
memberikan kuasa. Samuel mengurapi Saul, dan “Roh Tuhan turun dengan kuasa
atasnya” (1 Sam. 10:6). Samuel mengurapi Daud, dan “Roh Tuhan mulai turun ke
atas Daud” (1 Sam. 16:13). Minyak menyentuh tubuh, tetapi Roh Allah menyentuh
hidupnya.
Inilah alasan banyak teolog melihat minyak urapan sebagai
simbol Roh Kudus. Minyak adalah tanda luar, Roh adalah realitas dalamnya.
Minyak memisahkan secara ritual, Roh memisahkan secara rohani. Minyak
dicurahkan di atas kepala, Roh dicurahkan ke dalam hati. Bahasa “pencurahan
minyak” dalam PL (Kel. 29:7; Mzm. 133:2) berjalan sejajar dengan janji
“pencurahan Roh” dalam Yesaya dan Yoel (Yes. 32:15; Yoel 2:28). Pola ini
konsisten. Dan ketika Perjanjian Baru tiba, semua simbol itu menemukan puncak
maknanya. Yesus disebut “Mesias”—Yang Diurapi. Tetapi Yesus tidak diurapi
dengan minyak buatan manusia; Ia diurapi dengan Roh Kudus sendiri (Luk. 4:18).
Apa yang dahulu hanya berupa gambaran dan bayangan, kini menjadi kenyataan
rohani yang penuh. Pengurapan bukan lagi cairan yang membasahi kulit, tetapi
Roh Hidup yang memenuhi batin manusia. Dahulu minyak hanya menempel dari luar;
kini Roh Kudus masuk ke pusat keberadaan kita—memurnikan, membentuk, dan
memperbarui dari dalam.
Dengan ini, kita mulai memahami bahwa kekudusan bukan proyek prestasi tetapi karya Roh. Kekudusan bukan sekadar menaikkan standar moral, melainkan pembaruan hati oleh kuasa Allah. Segala disiplin rohani tetap penting, tetapi tidak pernah menjadi sumber kekudusan—mereka hanyalah saluran untuk merespons karya Roh. Roh Kuduslah yang menguduskan, memisahkan, memperlengkapi, dan menyanggupkan kita. Kesadaran ini mengubah cara kita menjalani iman hari ini. Kita tidak lagi hidup dalam tekanan untuk “terlihat kudus,” sebab kekudusan bukan topeng, tetapi identitas baru yang diberikan Allah melalui Roh-Nya. Jika dahulu minyak urapan menyucikan Kemah Suci, maka sekarang Roh Kudus menyucikan hidup kita—bait Allah yang sejati. Kekudusan bukan hanya menjauhi dosa, tetapi bertumbuh menjadi serupa Kristus, sebagaimana Roh membentuk karakter kita setahap demi setahap.
Saudara, apakah kita selama ini memahami kekudusan sebagai pencapaian pribadi, atau sebagai karya Roh Kudus di dalam diri kita? (RT)

Komentar
Posting Komentar