Dari Minyak ke Roh

Selasa, 9 Desember 2025
Dari Minyak ke Roh 
Bacaan Alkitab : Keluaran 30:22–25

Ketika Tuhan memerintahkan Musa untuk membuat minyak urapan, Ia tidak membiarkan proses itu berjalan sembarangan. Tuhan menyebutkan satu per satu bahan yang harus dipakai, takaran yang tepat, hingga komposisi yang tidak boleh diubah. Tidak sembarang minyak. Tidak sembarang aroma. Tidak sembarang racikan. Minyak itu menjadi kudus bukan karena harum atau mahalnya bahan-bahan itu, tetapi karena Tuhanlah yang menentukannya. Di sini kita melihat sebuah pola yang kuat: kekudusan tidak pernah lahir dari kreativitas manusia, melainkan dari inisiatif Allah sendiri.

Dalam perjalanan sejarah Israel, minyak urapan selalu berkaitan dengan pemilihan dan pengudusan. Ketika mezbah, kandil, dan peralatan Kemah Suci diurapi, semuanya menjadi “kudus”—bukan karena bentuk atau bahannya istimewa, tetapi karena Allah memilih untuk menandai mereka sebagai milik-Nya. Demikian pula ketika imam atau raja diurapi, mereka tidak sekadar menjalani upacara, tetapi memasuki sebuah panggilan ilahi. Bahkan Perjanjian Lama sendiri menunjukkan bahwa pada saat seseorang diurapi dengan minyak, Roh Tuhan bekerja memberikan kuasa. Samuel mengurapi Saul, dan “Roh Tuhan turun dengan kuasa atasnya” (1 Sam. 10:6). Samuel mengurapi Daud, dan “Roh Tuhan mulai turun ke atas Daud” (1 Sam. 16:13). Minyak menyentuh tubuh, tetapi Roh Allah menyentuh hidupnya.

Inilah alasan banyak teolog melihat minyak urapan sebagai simbol Roh Kudus. Minyak adalah tanda luar, Roh adalah realitas dalamnya. Minyak memisahkan secara ritual, Roh memisahkan secara rohani. Minyak dicurahkan di atas kepala, Roh dicurahkan ke dalam hati. Bahasa “pencurahan minyak” dalam PL (Kel. 29:7; Mzm. 133:2) berjalan sejajar dengan janji “pencurahan Roh” dalam Yesaya dan Yoel (Yes. 32:15; Yoel 2:28). Pola ini konsisten. Dan ketika Perjanjian Baru tiba, semua simbol itu menemukan puncak maknanya. Yesus disebut “Mesias”—Yang Diurapi. Tetapi Yesus tidak diurapi dengan minyak buatan manusia; Ia diurapi dengan Roh Kudus sendiri (Luk. 4:18). Apa yang dahulu hanya berupa gambaran dan bayangan, kini menjadi kenyataan rohani yang penuh. Pengurapan bukan lagi cairan yang membasahi kulit, tetapi Roh Hidup yang memenuhi batin manusia. Dahulu minyak hanya menempel dari luar; kini Roh Kudus masuk ke pusat keberadaan kita—memurnikan, membentuk, dan memperbarui dari dalam.

Dengan ini, kita mulai memahami bahwa kekudusan bukan proyek prestasi tetapi karya Roh. Kekudusan bukan sekadar menaikkan standar moral, melainkan pembaruan hati oleh kuasa Allah. Segala disiplin rohani tetap penting, tetapi tidak pernah menjadi sumber kekudusan—mereka hanyalah saluran untuk merespons karya Roh. Roh Kuduslah yang menguduskan, memisahkan, memperlengkapi, dan menyanggupkan kita. Kesadaran ini mengubah cara kita menjalani iman hari ini. Kita tidak lagi hidup dalam tekanan untuk “terlihat kudus,” sebab kekudusan bukan topeng, tetapi identitas baru yang diberikan Allah melalui Roh-Nya. Jika dahulu minyak urapan menyucikan Kemah Suci, maka sekarang Roh Kudus menyucikan hidup kita—bait Allah yang sejati. Kekudusan bukan hanya menjauhi dosa, tetapi bertumbuh menjadi serupa Kristus, sebagaimana Roh membentuk karakter kita setahap demi setahap.

Saudara, apakah kita selama ini memahami kekudusan sebagai pencapaian pribadi, atau sebagai karya Roh Kudus di dalam diri kita? (RT)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup sesuai Kehendak Allah

Menghormati Allah dalam Penderitaan

Pengalaman Rohani Bersama Allah