Pakaian Imam: Identitas Kudus Yang Dikenakan, Bukan Dibuat

Rabu, 29 Oktober 202
Pakaian Imam: Identitas Kudus Yang Dikenakan, Bukan Dibuat

Bacaan Alkitab : Keluaran 28:4–6




Dalam Keluaran 28:4–6, Tuhan memberikan perintah yang sangat rinci tentang pakaian imam: efod, baju efod, jubah, baju tenun halus, serban, dan ikat pinggang. Rincian ini mungkin tampak sekadar teknis, tetapi sesungguhnya menyimpan makna rohani yang dalam. Pakaian imam bukan hanya soal penampilan lahiriah, melainkan penanda identitas rohani dan panggilan kudus yang datang langsung dari Allah. Allah sendiri yang menetapkan bagaimana seorang imam harus berpakaian, sebab pelayanan di hadapan-Nya tidak boleh dilakukan dengan sembarangan. Efod, sebagaimana disebut dalam ayat 6, dibuat dari emas, kain ungu tua, ungu muda, kain kirmizi, dan lenan halus yang dipintal secara artistik—simbol kemuliaan dan kekudusan. Saat imam mengenakan pakaian itu, ia bukan hanya berpakaian indah, tetapi mengidentifikasikan  dirinya terpisah dari urusan duniawi dan menyiapkan dirinya untuk menghadap Allah untuk mewakili umat.

           Setiap kali Harun berdiri di hadapan Tuhan, ia tidak datang sebagai dirinya sendiri. Ia datang sebagai wakil seluruh umat Israel. Nama-nama dua belas suku diukir pada dua batu permata di atas bahunya dan dua belas permata pada tutup dada yang dikenakannya. Di atas bahu—ia menanggung beban umat; di atas dada—ia membawa mereka dalam kasih dan pengingatan. Dengan demikian, setiap kali ia mengangkat tangan untuk berdoa atau mempersembahkan korban, ia membawa seluruh kehidupan umat di hadapan Tuhan: keluh kesah mereka, dosa mereka, harapan mereka.

Namun, penting untuk disadari bahwa Harun tidak menjadi kudus karena pakaian itu. Pakaian itu hanya menandai bahwa Tuhanlah yang telah menguduskannya lebih dahulu. Kekudusan bukan hasil usaha manusia, melainkan anugerah penetapan ilahi. Hari ini, banyak orang berusaha menjadi “layak” di hadapan Allah dengan kekuatan sendiri—melalui moralitas, ritual, atau keberhasilan rohani. Tapi Keluaran 28 mengingatkan kita bahwa identitas kudus dimulai dari panggilan Allah, bukan dari kesempurnaan kita.

Kita disucikan karena telah dipanggil, bukan dipanggil karena telah suci.

Ketika Harun mengenakan pakaian imamnya, ia belajar untuk melupakan dirinya sendiri. Tidak ada lagi Harun sebagai pribadi dengan ambisi, ketakutan, atau kelemahan. Yang ada hanyalah Harun sebagai pelayan umat dan penyambung antara Allah dan manusia. Pakaian itu menjadi tanda bahwa dirinya sepenuhnya dipersembahkan bagi Tuhan dan bagi orang lain. Demikian juga, kita yang hidup di bawah perjanjian baru dipanggil untuk mengenakan pakaian rohani kita: “Kenakanlah manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya” (Efesus 4:24). Kita dipanggil bukan hanya untuk hidup kudus bagi diri sendiri, tetapi untuk menjadi saluran kasih dan pengingat akan anugerah Tuhan bagi dunia.

Saudara, sudahkah kita mengenakan “pakaian imam” kita setiap hari — yaitu hidup dalam kesadaran bahwa kita telah dipanggil, dikuduskan, dan diutus? Kiranya setiap kita memahami bahwa pakaian imam berarti hidup bukan lagi untuk diri sendiri, melainkan untuk Dia yang telah memanggil kita dalam kasih. (FS)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup sesuai Kehendak Allah

Menghormati Allah dalam Penderitaan

Pengalaman Rohani Bersama Allah