Pakaian Imam: Identitas Kudus Yang Dikenakan, Bukan Dibuat
Pakaian Imam: Identitas Kudus Yang Dikenakan, Bukan Dibuat
Bacaan Alkitab : Keluaran 28:4–6
Dalam Keluaran 28:4–6, Tuhan memberikan perintah yang sangat
rinci tentang pakaian imam: efod, baju efod, jubah, baju tenun halus, serban,
dan ikat pinggang. Rincian ini mungkin tampak sekadar teknis, tetapi
sesungguhnya menyimpan makna rohani yang dalam. Pakaian imam bukan hanya soal
penampilan lahiriah, melainkan penanda
identitas rohani dan panggilan kudus yang datang langsung dari Allah. Allah sendiri yang
menetapkan bagaimana seorang imam harus berpakaian, sebab pelayanan di hadapan-Nya tidak boleh dilakukan dengan
sembarangan. Efod,
sebagaimana disebut dalam ayat 6, dibuat dari emas, kain ungu tua, ungu muda,
kain kirmizi, dan lenan halus yang dipintal secara artistik—simbol kemuliaan
dan kekudusan. Saat imam
mengenakan pakaian itu, ia bukan hanya berpakaian indah, tetapi
mengidentifikasikan dirinya terpisah
dari urusan duniawi dan menyiapkan dirinya untuk menghadap Allah untuk mewakili
umat.
Setiap
kali Harun berdiri di hadapan Tuhan, ia tidak datang sebagai dirinya sendiri.
Ia datang sebagai wakil
seluruh umat Israel. Nama-nama dua belas suku diukir pada dua batu permata di
atas bahunya dan dua belas permata pada tutup dada yang dikenakannya. Di atas
bahu—ia menanggung beban umat; di atas dada—ia membawa mereka dalam kasih dan
pengingatan. Dengan demikian, setiap kali ia mengangkat tangan untuk berdoa
atau mempersembahkan korban, ia membawa seluruh kehidupan umat di hadapan
Tuhan: keluh kesah mereka, dosa mereka, harapan mereka.
Namun, penting untuk disadari bahwa Harun tidak menjadi kudus karena pakaian itu. Pakaian itu hanya menandai bahwa Tuhanlah yang telah menguduskannya lebih
dahulu. Kekudusan bukan hasil usaha manusia,
melainkan anugerah penetapan
ilahi. Hari ini, banyak orang berusaha menjadi
“layak” di hadapan Allah dengan kekuatan sendiri—melalui moralitas, ritual,
atau keberhasilan rohani. Tapi Keluaran 28 mengingatkan kita bahwa identitas kudus dimulai dari panggilan
Allah, bukan dari kesempurnaan kita.
Kita disucikan karena telah dipanggil, bukan dipanggil karena telah suci.
Ketika
Harun mengenakan pakaian imamnya, ia belajar untuk melupakan dirinya sendiri.
Tidak ada lagi Harun sebagai pribadi dengan ambisi, ketakutan, atau kelemahan.
Yang ada hanyalah Harun sebagai pelayan
umat dan penyambung antara Allah dan manusia.
Pakaian itu menjadi tanda bahwa dirinya sepenuhnya dipersembahkan bagi Tuhan
dan bagi orang lain. Demikian juga, kita yang hidup di bawah perjanjian baru
dipanggil untuk mengenakan pakaian
rohani kita:
“Kenakanlah manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam
kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya” (Efesus 4:24). Kita dipanggil bukan
hanya untuk hidup kudus bagi diri sendiri, tetapi untuk menjadi saluran kasih dan pengingat akan
anugerah Tuhan bagi dunia.
Saudara, sudahkah kita mengenakan “pakaian imam”
kita setiap hari — yaitu hidup dalam kesadaran bahwa kita telah dipanggil,
dikuduskan, dan diutus? Kiranya setiap kita memahami bahwa pakaian imam berarti
hidup bukan lagi untuk diri sendiri, melainkan untuk Dia yang telah memanggil
kita dalam kasih. (FS)

Komentar
Posting Komentar