Menjaga Lidah
Menjaga Lidah
Saudara, ayat yang kita baca merupakan
perintah ke sembilan dari sepuluh perintah yang Allah firmankan kepada bangsa
Israel saat mereka berkemah di kaki Gunung Sinai. Perintah ini merupakan hukum
moral yang menjadi dasar kehidupan rohani, sosial, dan hukum mereka. Secara
langsung, larangan ini berkaitan dengan konteks pengadilan di mana kesaksian
palsu dapat membawa akibat fatal seperti orang tak bersalah dapat dihukum mati
atau warisannya dirampas. Namun, diluar proses hukum resmi, dalam budaya
masyarakat saat itu mereka menempatkan kehormatan, reputasi dan nama baik
seseorang sebagai harta yang sangat berharga. Ucapan fitnah atau kebohongan
yang diucapkan di luar pengadilan pun dapat memecah relasi keluarga,
menimbulkan permusuhan antar-suku, serta menggoyahkan tatanan sosial yang
bergantung pada kepercayaan dan kata-kata yang diucapkan. Dalam masyarakat yang
belum mengenal bukti forensik atau dokumen seperti sekarang maka perkataan
seseorang menjadi penentu yang sangat penting sehingga perintah ini juga
berfungsi menjaga integritas komunitas.
Bersaksi
dusta yang dimaksud dalam ayat ini berarti seseorang yang secara sadar dan sengaja memberi kesaksian yang tidak
sesuai kenyataan untuk merugikan orang lain. Tentu tindakan ini lebih dari
sekadar berbohong karena secara sengaja merusak kebenaran dan keadilan. Dalam
cara pandang Alkitab, kesaksian palsu bukan hanya pelanggaran etika sosial
tetapi juga pengkhianatan terhadap sifat Allah. Allah yang adalah kebenaran
memanggil umat-Nya untuk mencerminkan karakter-Nya yang adil dan benar. Bahkan
dalam Amsal 6:16–19, saksi dusta disejajarkan dengan penumpah darah orang yang
tidak bersalah. Tuhan Yesus pun menegaskan pentingnya integritas (Mat. 5:37).
Ini berarti orang percaya seharusnya mengucapkan kebenaran sesuai fakta.
Saudara, prinsip dalam perintah Allah ini juga masih relevan dalam kehidupan kita sekarang. Di era media sosial dan komunikasi digital ini maka godaan untuk menyebarkan informasi yang tidak sesuai fakta menjadi lebih mudah. Seseorang dapat dengan mudah dan cepat menyebarluaskan suatu berita tanpa memeriksa kebenaran dibalik berita tersebut. Namun sebagai orang percaya kita dipanggil untuk menjadi saksi kebenaran, berhati-hati dengan apa yang diucapkan atau dibagikan di media sosial. Dengan menjaga perkataan maka kita tidak hanya melindungi reputasi sesama tetapi juga memuliakan Allah yang adalah sumber kebenaran itu sendiri. Mari kita menjadi belajar mendisiplin diri untuk mengucapkan kebenaran baik secara lisan ataupun postingan di media sosial.
Saudara,
bagaimana perkataan atau postingan saya selama ini: sudahkah mencerminkan Allah
yang adalah sumber kebenaran? Kiranya Tuhan memberikan kita hikmat untuk
menahan diri dari ucapan yang sia-sia dan tidak sesuai dengan fakta. Kiranya
Roh Kudus membimbing kita untuk menjadi saksi kebenaran Allah di mana pun juga. (MS)
Komentar
Posting Komentar